Di malam gelap itu, udara dingin 'tumeluk' jiwa lalu menusuk tulang, seakan mencengkeram raga. Rasa ketakutan yang amat sangat menimpa hati sang Lubdaka, sosok pemburu, yang ganas, mencari mangsa di hutan rimba raya untuk logistik hidupnya.Namun keganasannya sirna, senjata yang dia bawa tak membantu banyak, karena dia sudah berada di atas pohon karena waktu telah gelap, seharian pergi berburu tak dapat apa-apa, nihil, hanya kelelahan yang hadir menjemput. Hutan lebat malam hari menampilkan wajah seramnya, dan berisi beribu kemungkinan hipotesis, sebagai dialektika diri yang sungguh menjadi misteri.
Satu misteri hipotesis masuk ke benak Lubdaka, yakni dia bisa mati tersergap binatang buas saat tertidur pulas, itu alasannya dia, tak ingin mati sia-sia, Dia tak tidur di bawah pohon, dia pun naik pohon, dan duduk di dahan yang bidang, namun hatinya resah gelisah, dan was-was, jangan –jangan ngantukku akan membuat aku menemui ajal, kematian yang sia-sia. Aku tak mau itu terjadi padaku. Mati harus ditempat terhormat, tidak dijalan, atau saat diboyong ke rumah sakit, atau tertabrak karena kecelakaan, kematian harus dijalan yang benar. Oleh karena itu apapun alasannya , kematian adalah proses yang bisa direncanakan, bukan karena nasib belaka.Begitulah kelebat benak sang Lubdaka, yang dinarasikan dengan indahnya oleh Empu Tanakung pada Kakawin Siwaratrikalpa
Narasi itu, mengisahkan sudut keajegan perjuangan manusia. Walaupun kelelahan membelenggu Ludaka , dia konsisten berjuang. Kelelahan membuat Lubdaka, berpikir, bahwa kehidupan sangat berarti, termasuk jiwa binatang yang hendak dia buru, dia menyadari benar bahwa ada dua hal yang diperlukan untuk hidup bahagia, yaitu "dhanya" bahan makanan, untuk memelihara badan, serta "dhyana" ‘meditasi untuk memasuki kediaman Tuhan dan lebur dalam kemuliaan-Nya.Artinya memati-mati adalah perbuatan yang berakibat perjalanan roh berat, karena makanan yang kita makan masih terikat roh binatang yang di bunuh, roh itu masih sayang dengan badannya.Roh akan mengikuti siapapun yang memakannya.
Dia, sadar selama ini dia hanya memburu untuk kesehatan badannya. Namun mengheningkan pikiran untuk kesehatan jiwa belum pernah dia lakoni, dia benar-benar Lubdaka ( Leb -dark) tenggelam dalam gelap. Untuk bangkit itulah dia harus melakukan dhyana, ‘meditasi’ memejamkan matanya, untuk bisa melihat sesuatu ketika mata tertutup.
Kisah kehidupan dan perjalanan Lubdaka, bangkit dari kegelapan, mendapat cahaya pada malam gelap, Siwaratri kalpa: Siwa bisa berarti terang, Ratri bisa berarti gelap dan Kalpa bisa berarti putaran waktu. Dengan mempelajari Siwaratri Kalpa, Manusia pencari hakikat hidup diharapkan bisa mengatasi gelap dan terangnya kehidupan. Malam yang paling gelap diantara bulan-bulan gelap, diantara satu revolusi bumi menghitari matahari saat itu, tepatnya ‘purwaning tilem( sehari sebelum bulan mati ) di sasih kepitu (bulan maga).
Lalu, Lubdaka, itu memejamkan mata, dia terasa ngantuk, dan terasa mau masuk kealam mimpi, disinilah pergulatan sang jiwa dengan raga itu nampak hadir sebagai titik kritis pencarian makna kehidupan, sehingga Lubdaka agar tidak ngantuk dia berus berusaha melakukan kegiatan memetik daun bilwa ( Aegle marmelos= pohon maja), sambil menchantingkan nama dewa Siwa,’OM Nama Siwaya”(nama semaranam). Setiap satu kali petikan daun bilwa, dia mengucapkan dengan khusuk mantra itu, dengan menarik nafas dan mengeluarkan pelan-pelan, ucapan Om Nama Siwaya’ dia rasakan bergetar di seluruh tubuhnya,getaran seperti menggoncang isi alam semesta, itu terus dilakukan sampai pada saat Lubdaka, telah memetik 108 daun bilwa, daun-daun yang jatuh secara ajaib membentuk gambaran Siwa ligam, dari sanalah muncul , kekuatan Siwa Mahadewa menghampiri jiwanya.
Dewa Siwa bersabda, "Lubdaka, engkau telah menggetarkan tapaku, aku sedang bersemadi, engkau juga melakukan hal yang sama, seakan-akan terjadi apa yang disebut ‘saling menguatkan. Engkau membantu tugas-Ku. Oleh karena itu, engkau boleh mendapatkan rahmatKu, terleburlah segala dosa yang telah engkau lakukan, dan engkau mendapatkan tempat di ‘Siwa’ loka’, Sujud bakti hamba haturkan pada-Mu yang menggerakkan alam semesta, sembah Lubdaka.
Hormatku pada paduka yang Maha Tahu, izinkanlah hamba bertanya barang sesaat, kesempatan seperti ini amatlah langka hamba dapatkan, tak semua orang bisa merasakan hal seperti ini. Ini adalah sebuah keberuntungan yang hamba dapatkan dalam hidup ini, lanjut Lubdaka.
Dewa Siwa berkata, “ Lubdaka, engkau adalah pemburu hewan, engkau telah melakukan pembunuhan terhadap hewan, namun itu engkau lakukan untuk menghidupi mu dan keluargamu. Perlu engkau ketahui, bahwa seseorang tidak akan menikmati keuntungan dari perbuatan baiknya, atau menderita akibat dari perbuatan jahat untuk selamanya; tetapi akan tibalah waktunya kapan perbuatan baik atau buruknya berbuah dan menjadi matang.
Dewa Siwa menambahkan, “Jika orang sayang akan hidupnya, apa sebabnya mereka ingin membunuh makhluk lain, mereka sungguh tidak memakai ukuran dirinya. Jika orang selalu berharap kesenangan dan kedamaian, semestinya mereka terlebih dahulu memberi kesenangan dan kedamaian itu kepada yang lainnya.
Oh.....Dewa, kami butuh makan agar badan ini sehat, Bagaimanaini Dewa? Tanya Lubdaka.
Tubuhmu, tidak perlu banyak, Sesungguhnya tubuh yang telah ditinggal oleh rohnya, tidak lagi memiliki kegunaan bagi yang lainnya, menyadari akan hal ini kenapa dirimu khawatir dan terikat pada tubuh ini, dan masih memelihara tubuh ini dengan cara membunuh makhluk-makhluk lainnya. Ketahuilah badan wadag yang telah mati akan menjadi abu, santapan ulat-ulat, atau hanya menjadi bangkai busuk yang dijauhi orang, menyadari hal ini kenapa manusia masih memelihara tubuhnya dengan cara membunuh lalu memakan bangkai-bangkai makhluk lain, sehingga tubuhnya menjadi sarang penyakit.
Engkau harus berpikir anakku, Singkat kata usahakanlah kesejahteraan makhluk hidup itu, segala perkerjaanmu akan menjadi tanpa guna jika melalaikan kesejahteraan makhluk lainnya, meskipun dirimu melakukan pekerjaan berat atau ringan usahakanlah selalu kesejahteraan bagi yang lainnya.
Maksud paduka, hamba tidak mengerti? Tanya balik Lubdaka, ” Pembuat kejahatan hanya melihat hal yang baik selama buah perbuatan jahatnya belum masak, tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak, ia akan melihat akibat-akibatnya yang buruk. Pembuat kebajikan hanya melihat hal yang buruk selama buah perbuatan bajiknya belum masak’ tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak; ia akan melihat akibat-akibatnya yang baik. Itu adalah hukum semesta anakku, kata dewa Siwa.
Perlu engkau ketahui Lubdaka, Seekor kijang beranak satu dua, sedangkan srigala beranak enam bahkan hingga tujuh ekor. Anak kijang memiliki peluang hidup lebih besar karena jarang yang mati, sedangkan anak srigala seiring waktu akan banyak yang mati. Demikian juga manusia, mereka yang memakan makanan dengan cara tidak membunuh makhluk lain berpeluang hidup lebih panjang dibanding mereka yang membunuh makhluk hidup untuk makanannya.
Bagaimana kesejahteraan itu diperoleh, Dewa?
Lubdaka, anakku, orang yang memperoleh kesejahteraan lahir batin adalah mereka yang tidak menyakiti makhluk lain, tidak menyiksa dan tidak membunuh. Mereka yang ingin memperoleh kesenangan lahir batin hendaknya selalu berusaha memberi kesenangan bagi makhluk-makhluk lainnya. Orang yang tidak menyakiti, menyiksa, dan membunuh makhluk lain, segala sesuatu yang dicita-citakannya, segala sesuatu yang menjadi tujuan hidupnya, keinginan dan kehendaknya, akan dapat dengan mudah tercapai tanpa diikuti penderitaan, itulah hukum kebenaran
Perlu engkau camkan, bahwa , oleh diri sendiri kejahatan dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang menjadi suci. Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri. Tak seorangpun yang dapat mensucikan orang lain” Lubdaka tersenyum simpul, bahwa walaupun hari gelap gulita, dia mendapat pencerahan, yang luar biasa.
Pencerahan itu, membauat dirinya terus bertanya , Yang Maha memberi, aku takut dengan kematian, dari tadi siang aku berburu takseekor binatangpun datang, namun karena malam , aku memanjat pohon, akau takut kalau aku ada dibawah pohon, ada hewan buas yang menerkamku saat aku tertidur pulas paduka, Bagimana ini Paduka? Tanya Lubdaka.
Dewa Siwa berkata, Jika ada seseorang dapat terbebas dari kematian dan dapat hidup abadi, ia boleh bermalas-malasan; sedangkan bagi mereka yang pasti akan mati dan tidak bisa hidup abadi. Penting memnfaatan waktu sebaik-baiknya, lalu tak ada gunanya bermalas-malasan.
Camkanlah Ini, Jika ingin terlahir menjadi manusia rupawan, tanpa cacat, umur panjang, memperoleh kepandaian, keberanian, kesaktian, atau pengetahuan utama, janganlah menyiksa dan membunuh makhluk hidup lain. Orang yang melindungi makhluk hidup dari rasa takut, penyiksaan, dan kematian; mereka yang senantiasa berbelas kasih pada makhluk hidup akan mendapat balasan keselamatan dari segenap makhluk hidup disemesta ini, baik keselamatan di alam fana maupun di alam akherat nantinya.
Inilah rahasia kinerja alam semesta , memberi makanan kepada makhluk tentulah lebih rendah nilainya dibanding memberikan kasih sayang dan kebebasan hidup kepadanya. Kehidupan jauh lebih berharga dibanding apapun, maka dari itu hargailah hidup segala makhluk dengan mengasihi mereka, hendaknya manusia menghargai makhluk lain seperti ia menghargai dirinya. Mereka yang tidak dirasuki kemarahan, teguh pada kebenaran, tidak membunuh, tidak berbuat jahat, selalu berkelakuan suci; mereka yang seperti ini akan berumur panjang dikehidupan sekarang pun kelak dikelahiran berikutnya.
Mereka yang kejam dan bengis pada makhluk lain akan berumur pendek, dan kelak dikehidupan berikutnya mereka akan lahir sebagai manusia berpenyakitan atau menjadi penyandang cacat.
Perlu engkau katahui, Lubdaka, Hari hari yang kau jalani sekarang nikmatilah dan rasakan kelak suatu saat itu akan indah pada waktunya. Waktu itu tiada batasnya, ia terus bergerak meski telah melewati ribuan putaran tahun; sedangkan hidup itu ada batasnya, bahkan seringkali dijalani dengan sangat cepat dan hanya dalam sekejap saja; sadar akan hal tersebut, apakah yang menyebabkan orang masih menyianyiakan waktu,
Oh... Dewa. hamba bahagia mendapat banyak wejangan, Kata Ludaka.
Dewa Siwa tersenyum dan menambahkanJika tidak ada instrospeksi diri setelah melihat orang tua renta, orang sakit, dan orang mati, dimana seolah-olah ia tidak akan berkeadaan seperti itu kelak; orang yang seperti ini tidak ubahnya dengan pecahan periuk atau batu bata. Walaupun lantaran saktinya seseorang dapat menguasai empat benua hanya dalam sekejap, namun ia tidak akan dapat menghindarkan dirinya dari penyakit, usia tua dan kematian.
Oleh karena itu, manfaatkanlah dengan sebaik-baiknya saat hidup ini untuk melaksanakan kebajikan dan kebenaran, sebab diusia tua demikian banyaknya hambatan (kelemahan fisik & penyakit) untuk melakukan kebajikan dan kebenaran dengan sepurna. Seperti keadaan orang tua renta yang masih bernafsu untuk berkelahi, lantaran kelemahan fisiknya ia akan jatuh bangun melakukannya; bagaikan srigala tua yang telah ompong ingin mengunyah tulang, sia-sialah usahanya itu dan ia hanya dapat menjilatinya saja. Selamat hari Siwartri, mogi rahayu*****

Komentar
Posting Komentar