"Bila dengan mempersembahkan sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan, dan seteguk air, juga akan diterima olehNya, mengapa seseorang mesti tenggelam dalam kerumitan membuat banten berbagai bentuk, jenis dan ukuran? Tidakkah itu merupakan kesia-siaan semata?"
Demikian gumamnya menggugat...
"Lebih-lebih Tuhan tak pernah meminta persembahan, bukankah lebih mulia bila perambahan itu diberikan kepada mereka yang membutuhkan? Yang kelaparan?" Ungkapnya penuh semangat.
Mendengar celotehan itu, seorang sahabat menyahut lirih....
"Dalam Yajna Prakrti disebutkan bahwa salah satu makna banten adalah "pinaka raganta tuwi", wujud dari manusia itu sendiri. Mengejawantahkan makna itu, maka banten lebih ditekankan sebagai bentuk persembahan (suguhan). Jika mengutip Bhagavadgita seperti yang engkau nyatakan sebelumnya, maka tak salah jika sehelai daun, bunga, sebiji buah dan airpun sudahlah cukup. Di Bali, banten persembahan itu diwujudkan dalam bentuk sodaan, rayunan, gebogan, ajuman dan sejenisnya.
Pada makna lainnya, banten dinyatakan "pinaka warna rupaning Ida Bhatara" Wujud dari Tuhan sendiri. Menerjemahkan hal ini, maka dikenallah banten daksina, lingga, guru, dan lainnya. Karena banten ini berfungsi sebagai simbol Tuhan itu sendiri, tentu komposi bahan dan bentuknya tak bisa disamakan seperti banten persembahan sebelumnya.
Dan terakhir, banten adalah "Anda bhuana" simbol dari alam semesta. Darinya, bahan yang dipergunakan tak sekedar buah, bunga atau air. Gayah misalnya, yang berbahan dasar daging babi, ini merupakan replika dari alam semesta, ada gambaran bumi, pepohonan, angkasa sampai matahati dan planet angkasa lainnya diwujudkan.
Maka berbekal pemahaman di atas, kesan prematur tak bisa dihindarkan ketika seseorang hanya memandang banten sebagai sebentuk suguhan, sebab nyatanya, selain sebagai suguhan, dari banten seseorang juga diajak belajar mengenai alam semesta termasuk Tuhan itu sendiri.
Kemudian terkait pernyataan persembahan lebih baik diberikan kepada mereka yang membutuhkan, tentu saja itu benar, Kawan.
Mengutip peaan para bijak, bahwa jalan berjumpa denganNya tidak saja melalui bhakti, dengan tindakan nyata membantu sesama atau hanya sekedar merawat alam, juga merupakan jalan menemuiNya. Sampai di sini, tentu tak elok membandingkan pilihan jalan, bila engkau lebih memilih berjumpa denganNya yang ada pada diri setiap mahkluk hidup, maka karma yoga jalanmu. Bila dengan kecerdasanmu engkau hendak menjumpaiNya, jnana marga adalah pilihannya. Dan jika jalan bhakti yang engkau pilih, maka di Bali salah satu pengejawantahannya dengan jalan membuat banten.
Silahkan pilih jalan sesuai kemampuanmu, hindari untuk membandingkannya sebab pilihan jalan manapun, pada akhirnya akan mengantar siapa saja untuk berjumpa denganNya.
Demikian gumamnya menggugat...
"Lebih-lebih Tuhan tak pernah meminta persembahan, bukankah lebih mulia bila perambahan itu diberikan kepada mereka yang membutuhkan? Yang kelaparan?" Ungkapnya penuh semangat.
Mendengar celotehan itu, seorang sahabat menyahut lirih....
"Dalam Yajna Prakrti disebutkan bahwa salah satu makna banten adalah "pinaka raganta tuwi", wujud dari manusia itu sendiri. Mengejawantahkan makna itu, maka banten lebih ditekankan sebagai bentuk persembahan (suguhan). Jika mengutip Bhagavadgita seperti yang engkau nyatakan sebelumnya, maka tak salah jika sehelai daun, bunga, sebiji buah dan airpun sudahlah cukup. Di Bali, banten persembahan itu diwujudkan dalam bentuk sodaan, rayunan, gebogan, ajuman dan sejenisnya.
Pada makna lainnya, banten dinyatakan "pinaka warna rupaning Ida Bhatara" Wujud dari Tuhan sendiri. Menerjemahkan hal ini, maka dikenallah banten daksina, lingga, guru, dan lainnya. Karena banten ini berfungsi sebagai simbol Tuhan itu sendiri, tentu komposi bahan dan bentuknya tak bisa disamakan seperti banten persembahan sebelumnya.
Dan terakhir, banten adalah "Anda bhuana" simbol dari alam semesta. Darinya, bahan yang dipergunakan tak sekedar buah, bunga atau air. Gayah misalnya, yang berbahan dasar daging babi, ini merupakan replika dari alam semesta, ada gambaran bumi, pepohonan, angkasa sampai matahati dan planet angkasa lainnya diwujudkan.
Maka berbekal pemahaman di atas, kesan prematur tak bisa dihindarkan ketika seseorang hanya memandang banten sebagai sebentuk suguhan, sebab nyatanya, selain sebagai suguhan, dari banten seseorang juga diajak belajar mengenai alam semesta termasuk Tuhan itu sendiri.
Kemudian terkait pernyataan persembahan lebih baik diberikan kepada mereka yang membutuhkan, tentu saja itu benar, Kawan.
Mengutip peaan para bijak, bahwa jalan berjumpa denganNya tidak saja melalui bhakti, dengan tindakan nyata membantu sesama atau hanya sekedar merawat alam, juga merupakan jalan menemuiNya. Sampai di sini, tentu tak elok membandingkan pilihan jalan, bila engkau lebih memilih berjumpa denganNya yang ada pada diri setiap mahkluk hidup, maka karma yoga jalanmu. Bila dengan kecerdasanmu engkau hendak menjumpaiNya, jnana marga adalah pilihannya. Dan jika jalan bhakti yang engkau pilih, maka di Bali salah satu pengejawantahannya dengan jalan membuat banten.
Silahkan pilih jalan sesuai kemampuanmu, hindari untuk membandingkannya sebab pilihan jalan manapun, pada akhirnya akan mengantar siapa saja untuk berjumpa denganNya.
Komentar
Posting Komentar