Tertulis dalam Lontar Tutur Bhaerawa Tattwa: Simbolisme dan Makna Mendalam Praktik Meditasi di Setra
Dalam tradisi Bali, Lontar Tutur Bhaerawa Tattwa dikenal sebagai salah satu teks utama yang secara eksplisit menggambarkan praktik meditasi khas dari tradisi Bhaerawa. Teks kuno ini memberikan panduan rinci mengenai aspek esoteris dari sadhana (praktik spiritual), khususnya yang melibatkan meditasi di area pemakaman atau setra.
Menurut ajaran yang terkandung dalam lontar ini, praktik meditasi di kuburan memiliki tujuan spiritual yang sangat dalam. Tempat yang secara umum dipandang sebagai tempat ketakutan dan kesedihan, justru menjadi lokasi sakral yang memiliki energi transformasi tertinggi. Di dalam setra, seorang praktisi Bhaerawa memandang bahwa tengkorak (kapala) sebagai simbol utama pelepasan identitas duniawi sekaligus upaya pembersihan batin secara menyeluruh.
Dijelaskan bahwa memvisualisasikan tengkorak bukan sekadar tindakan simbolik biasa, melainkan mengandung arti filosofis yang sangat dalam. Kapala melambangkan matinya ego, hilangnya segala bentuk kemelekatan duniawi, dan kesadaran penuh bahwa segala sesuatu yang bersifat jasmani pada akhirnya akan kembali menjadi debu.
Dengan memvisualisasikan tengkorak, praktisi menyatakan bahwa dirinya telah melepas semua identitas sosial, jabatan, dan bahkan identifikasi terhadap tubuhnya sendiri.
Sebuah kutipan terkenal dari Lontar Tutur Bhaerawa Tattwa yang mencerminkan esensi dari praktik ini berbunyi sebagai berikut:
"Riṅ śmāśana, mukti ning sakala, ngasta kapala, pangrasa riṅ saṅkaning idep."
"Di kuburan, menuju pelepasan segala bentuk, menggenggam tengkorak, merasakan asal dari pikiran."
Kutipan ini menggambarkan secara gamblang bahwa meditasi di setra bukan sekadar praktik seremonial, melainkan langkah konkret menuju kebebasan spiritual (mukti). Istilah "mukti ning sakala" secara khusus menekankan pelepasan total dari segala bentuk keterikatan. Segala rupa, nama, dan bentuk yang sementara dilepaskan sepenuhnya demi mencapai keadaan kesadaran yang murni dan bebas.
Kata "ngasta kapala" (menggenggam tengkorak atau simbol penggantinya) melambangkan penguasaan atas kematian itu sendiri, bukan dalam arti negatif, tetapi sebagai sarana untuk mengatasi ketakutan, keraguan, dan hambatan spiritual.
Tengkorak yang digenggam menjadi simbol nyata bahwa sang sadhaka telah menerima sepenuhnya sifat fana kehidupan.
Selanjutnya, "pangrasa riṅ saṅkaning idep" bermakna bahwa melalui meditasi ini, praktisi Bhaerawa secara aktif menyelami asal-muasal pikirannya sendiri. Pikiran dalam konteks ini tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang menyatu dengan ego atau tubuh fisik, tetapi sebagai manifestasi dari kesadaran universal yang abadi dan tanpa batas.
Dalam pemahaman lontar ini, meditasi di setra dengan simbolisme kapala tidak semata-mata bertujuan untuk mencapai kesaktian atau kekuatan supranatural. Sebaliknya, tujuannya adalah transendensi penuh terhadap dualitas hidup dan mati, suka dan duka, serta keterbatasan ego menuju pengalaman kesadaran tertinggi (paramartha).
Lontar Tutur Bhaerawa Tattwa mengajarkan bahwa pada akhirnya, praktik meditasi di setra dengan tengkorak sebagai simbol sentral adalah jalan spiritual yang mengantarkan praktisi menuju pembebasan sejati. Ia adalah langkah-langkah radikal dalam menemukan inti batin, sumber terdalam dari kesadaran murni yang melampaui batasan-batasan fisik dan duniawi.
{{{{{ Ong….. }}}}}
Rahayu 🙏🌹❤️
Komentar
Posting Komentar