Orang Bali menyebut tuhannya dengan sebutan Acintya, artinya "tidak terpikirkan". Nama itu sendiri sudah mengimplikasikan sebuah nasehat sederhana, yaitu: tidak usah memikirkan Tuhan!
Kenapa tuhan tidak usah dipikirkan? Karena pikiran tidak akan mampu menjangkau-Nya.
Pikiran (citta) ada di tattwa (dimensi) yang jauh di bawah, dan sebagaimana prinsip Tattwa—yang dijelaskan dalam teks-teks Lontar—satu dimensi keberadaan hanya akan mampu menjangkau dimensi yang ada di bawahnya, bukan yang di atasnya.
Lalu apa dimensi keberadaan di bawah pikiran (citta)? Tubuh fisik dan dimensi material lain. Jadi, cukup pikirkan apa yang ada (sakala) dan tidak usah mengurusi dimensi niskala yang melampaui jangkauan pikiran. Sebuah wadah sebesar meja tidak akan mampu menampung isi sebesar rumah; hanya mampu menampung isi yang lebih kecil dari wadah itu sendiri.
Mencoba memikir-mikir dan menakar-nakar tuhan dengan nalar tak ubahnya seperti gelas yang ingin mewadahi samudera [gila, kan?]
Kalau tuhan sudah tidak dinalar, maka bertuhan tidak akan ribet dan ribut. Sebab tuhan—yang tak nampak, tak terdengar dan tak terpikirkan itu—tidak usah repot-repot dikonsepkan, lalu hasil pemikiran [baca: hayalan] itu tidak perlu sampai diperdebatkan.
Kalau manusia mencoba memikirkan Tuhan, maka pikiranlah yang akan menjelmakan dirinya menjadi angan-angan ketuhan. Pikiran yang dipaksa untuk memahami Tuhan kemudian akan MENCIPTAKAN TUHAN yang bisa ia pahami. [saran: baca lagi pelan-pelan kalimat di paragraf ini]
Wajar jika kemudian tuhan-tuhin yang ada dalam agama-agama cenderung sangat "manusiawi": pemarah, pendendam, pemberi hadiah anak baik dan penghukum yang salah.
Kenapa tuhan sangat mirip dengan manusia? Ya, karena pikiran manusia yang menciptakannya. Semua itu cuma akal-akalan akal. Hasil otak-atik otak.
Bukan hal baru jika manusia berusaha me-manusia-kan semua hal agar lebih mampu ia pahami sebagai manusia. Sama dengan anak-anak yang berusaha menggambarkan binatang, pohon dengan sifat-sifat manusia; bisa bicara, pergi bekerja, dan sejenisnya [sebagai referensi, tontonlah film kartun].
Apakah itu berarti kita tidak perlu bertuhan dan bergama? Ya, tidak juga. Namun kalau mengikuti prinsip ini, bertuhan dijadikan sebagai satu gerak empiris, bukan dongeng utopis. Artinya, kemanusiaan yang dikedepankan, alam yang dirawat, hidup yang dioptimalkan, dan sejenisnya. Lalu bukan Tuhan yang berusaha disenangkan dengan puja-puji milyaran, namun manusia lain yang disemai senyumnya, dan hal-hal aktual lain.
Kenapa? Karena semua itulah dimensi-dimensi yang bisa dijangkau pikiran.
Paham sekarang kenapa Tri Hita Karana menjadi fondasi spiritual Bali?
Lalu ketuhanannya di mana dari mengembangkan kemanusiaan dan kealaman? Ya sederhana, dalam prinsip spiritual Bali, Tuhan sendirilah yang mewujud menjadi manusia, alam dan seluruh semesta. Bukankah, tuhan adalah segalanya?
Lalu, bukankah Svami Vivekananda sendiri pernah bilang, kalau cara paling sederhana melayani Tuhan adalah dengan melayani sesama manusia? Bukankah Bhagavan Sri Satya Sai Baba sendiri yang mendengung manava seva, madava seva? Bukankah dalam Bhagavad Gita—yang dikutip di sana-sini itu—Sri Krishna menampakkan “wujud aslinya” sebagai semua yang ada ini (visvarupa), termasuk alam?
Bertuhan ala Bali seharusnya bersifat sakala dan niskala, bukan hanya memikirkan yang niskala lalu mengabaikan yang sakala.
Tetapi, kenapa orang cenderung bertuhan secara utopis? Kenapa berspiritual secara khayal? Kenapa beritual mahal-mahal—padahal katanya sarana ritual cuma simbol yang perlu diaktualisasikan maknanya. Kenapa? Karena sudah terlanjur di-akali pikiran. Itulah, kenapa.
Diakali bagaimana?
Begini, saat manusia tidak nyaman dengan dunia realita, maka ia akan berpaling ke dunia hayal. Saya misalkan, saat saya sedang jenuh dan lelah oleh aktifitas harian, maka yang saya lakukan adalah menonton film, masuk ke dunia fiksi. Mengikuti kisah dewa-dewanya Marvel dan DC [Thor, Loki, Superman, dll], lalu mengikuti kisah dan berbagai fan-theory dari Westeros; Jon Snow mati gak nanti? Naganya Daenerys akan ada yang mati tidak nanti? Perang dengan White Walker akan berlanjut sampai ke King’s Landing apa cuma berhenti di Winterfell? [April sudah dekat, btw]
Pengalihan dari rutinitas dan realitas itu menyenangkan dan menenangkan. Kita semua tau itu. Namun, kalau berlebih maka pikiran akan tercabut dari realitas dan hidup dalam dunia fantasinya sendiri. Apa bedanya kemudian dengan orang gila yang hidup dalam dunia hayalnya? [Sebagai catatan, leluhur Bali sendiri sudah merumuskan jenis penyakit “bebai dewa”, yaitu semacam gila bertuhan]
Salah kah itu? Salahkah bertuhan secara berlebihan?
Bukan masalah benar-salah, karena benar-salah adalah masih ranahnya pikiran, sedangkan Tuhan—ala Bali kuno—melampaui dikotomi dan dualitas itu. Namun, coba renungkan, apakah hidup anda menjadi semakin membahagiakan setelah bertuhan dengan cara anda bertuhan sekarang, atau malah sebaliknya? Apakah hubungan anda dengan orang-orang di sekitar anda menjadi lebih baik karenanya, atau sebaliknya?
Jangan benar-salahnya yang dipikiran, karena benar-salah ada di ranah pikiran yang sifatnya “khayal”, namun pikirkan “kebermanfaatannya”, pikirkan dampaknya secara “sekala” dari segala hal niskala yang sedang anda jalani. Jika cara dan tujuan sifatnya “khayal”—dalam artian hanya ada di mental—lalu barometer berketuhanan pun sama hayalnya, hanya berupa konsep-konsep, bayangkan jadinya?
[Sisi baiknya: jika anda memiliki kreatifitas berfantasi sebegitunya, anda berpotensi menulis novel atau membuat film yang best-seller].
Oh, ya. Kalau anda minta pendapat dari orang yang mendapat keuntungan dari ribet dan ributnya bertuhan, tentu pendapat saya ini akan disalahkan mati-matian dengan berbagai dalil. Contohnya, mereka yang mendapat penghasilan semakin banyak dengan semakin ribetnya ritual yang anda jalankan, atau mereka yang mau play hero saat orang ramai ribut-ribut bertuhan.
Tetapi mohon maaf jika ada diantara anda yang kesal membaca tulisan ini, dan kesalnya anda itu sungguh bisa saya pahami. Saat kehidupan membuat kita merasa lemah dan tidak berdaya, adalah konsep-konsep ketuhanan yang bisa menjadi penguat dan pendamai hati; namun jika dosis bertuhan jadi berlebihan, malah akan menjadi beban dan derita baru untuk kita dan orang di sekitar kita.
Lalu, bagaimana jika sumber keribetan dan keributan itu justru datang dari kitab suci, yang konon datangnya dari tuhan itu sendiri?
Nah, hal pertama yang perlu diperhatikan adalah, benarkah KITABNYA SENDIRI yang menyatakan demikian, atau CARA MEMAHAMI KITABNYA yang membuat demikian? Karena sering kali, semua soal CARA memahami kitab yang ada. Tuhan sudah berhenti bicara ribuan tahun lalu saat kitab itu diwahyukan, namun pikiran manusia masih saja mencoba meniru-niru suara-Nya.
PS:
- Tulisan ini didasarkan pada ajaran-ajaran dalam teks Lontar Chandra Bherawa.
#TantraBali #Tantra #BaliWisdom
Komentar
Posting Komentar