Nafas adalah prana.
Brata yg ditujukan pada nafas dinamakan *pranayama*
Orang yg berhasil dalam brata nafas disebut *jayaprana*
Jaya berarti menang. Kalau orang itu kemudian mati, maka tubuhnya disebut *layonsari*
Layon berarti layu. Sari berarti bunga. Jasad orang yg sudah jaya prana disamakan dengan sekuntum bunga layu.
Bunga tidak dihubungkan dengan jasad, tapi juga dihubungkan dengan tubuh semasih hidup. Kalau jasad dihubungkan dengan bunga layu, maka tubuh hidup dihubungkan dengan bunga kuncup dan mekar. Tidak terelakkan muncullah pertanyaan seperti berikut ini. Kalau tubuh diibaratkan sekuntum bunga, apa yg menjadi tangkainya?
Jawabannya adalah nafas.
Nafas adalah tangkai dari tubuh. Agar bunga tidak bergoyang ditiup angin, maka peganglah tangkainya dengan baik dan benar. Maksudnya, peganglah nafas kalau ingin tubuh ini diam sempurna. Kemampuan memegang nafas itulah yg ingin didapatkan oleh orang yg terus menerus berlatih pranayama.
*Dengan apakah nafas dapat dipegang?*
Nafas tidak bisa dipegang dengan tangan. Tidak bisa pula nafas dipegang dengan upacara tingkatan nista-madya-utama. Menurut orang yg tahu, nafas dipegang dengan nafas sendiri
Secara filosofis, ia dipegang oleh dirinya sendiri. Maksudnya, nafas dipegang dengan nafas. Prana dipegang oleh prana. Apa maksudnya?
Seperti berikut ini penjelasan sederhananya. Dari prana muncullah Pranawa. Yg disebut pranawa adalah Ongkara yg muncul dari dalam prana. Namanya adalah Ongkara Pranawa. Juga disebut Pranawa Ongkara. Nafas masuk dan nafas keluar adalah Rwabhinedha. Tempat Ongkara Pranawa tidak pada nfas yg keluar, dan tidak pula pada nafas yg masuk. Tempatnya adalah di antara nafas yg masuk dan nafas yg keluar itu. Diantara nafas yg masuk dan nafas yg keluar terdapat nafas yg diam
Di dalam nafas yg diam itulah tempat Ongkara Pranawa. Dari sana Ongkara Pranawa menggerakkan nafas yg keluar maupun nafas yg masuk. Ongkara Pranawa itulah yg mengendalikan. Itulah sebabnya, di atas dikatakan nafas dipegang dengan nafas. Prana dipegang dengan prana. Ongkara Pranawa itu tidak tidur ketika kita tidur.
Bernafas sesungguhnya pekerjaan sakral. Bernafas itu ritual pribadi di dalam diri sendiri. Menurut kitabnya, bernfas melalui mulut adalah tingkatan nista. Bernafas melalui hidung adalah tingkatan madya. Sedangkan tingkatkan utama adalah bernafas melalui ubun-ubun. Bnayak cara mengartikan trilogi nista, madya, utama diartikan bahwa tengha bawah tas. Mulut terletak urutan paling bawah. Hidung ada di tengah. Posisi ubun-ubun paling atas. Mulut adalah gerbangnya Yama. Hidung adalah gerbangnya Baruna. Ubun-ubun adalah gerbangnya Shiwa. Yama adalh kematian. Baruna adalah kehidupan. Shiwa adalah kelepasan.
Sekarang mari kita berbicara tentang ubun-ubun. Siapa tahu kelak di antara kita ada yg "jaya prana" melalui upacara tingkatan utama yaitu bernafas lewat ubun-ubun. Ubun-ubun adalah gerbang Shiwa atau Shiwadwara. Melalui ubun-ubun itulah Shiwa masuk dan keluar tubuh.
Ubun-ubun sifatnya tertutup. Gerbang tertutup itu mesti dibuka terlebih dahulu. Kunci untuk membukanya adalah yoga. Dasar untuk melaksanakan yoga adalah *dasasila,* atau sepuluh sila. Kesepuluh sila itu dibagi menjadi dua, *Yama Brata* dan *Niyami Brata.*
Dasar dari dasasila adalah *ahimsa,* yaitu tanpa kekerasan walau ditingkat pikiran sekalipun. Dasar dari ahimsa adalah *Tat Twam Asi.* Dasar dari tat twam asi adalah tattwa darshana. Yg dimaksudkan tattwa darshana adalah pandangan yg benar tentang segala yg ada dan segala yg tidak ada. Ingat, menurut tattwanya, Shiwa menciptakan segala yg ada dan segala yg tidak ada. Dengan demikian, pahamilah terlebih dahulu tattwanya.
Seperti berikut ini penjelasan singkat menurut tattwanya. Ubun-ubun adalah gerbang yg menghadap ke langit. Karena Shiwa masuk melalui ubun-ubun, itu berarti Shiwa datang dari atas ubun-ubun, yaitu dari langit.
_*Dari langit manakah Shiwa itu datang?*_
Menurit tattwanya, langit Shiwa berjarak *dwadasa anggula* dari ubun-ubun. Dwadasa berarti dua belas. Anggula berarti jari. Jadi Shiwa, datang dari langit yg berjarak dua belas jari dari ubun-ubun.
Yg dimaksudkan dua belas jari bukanlah jari berjumlah dua belas, kemudian ditumpuk-tumpuk atau disambung-sambung. Lebih spesifik yg dimaksud anggula adalah ruas-ruas jari. Hitungan dua belas jari akan didapatkan dengan cara tidak menghitung ruas jari *anggusta.*
Yg dimaksudkan adalah ibu jari, atau jempol. Seperti itulah jauhnya jarak langit Shiwa dari gerbangnya di ubun-ubun.
_*Apakah dua belas jari itu hitungan secara biologis, ataukah hitungan secara mistis?*_
Jawabannya tidak tersedia di dalam tulisan pendek ini. Jawabannya terdapat di luar teks.
Ketika Shiwa ada di langit di atas ubun-ubun, ia disebut Shiwa yg bersifat niskala. Nis berarti tidak. Kala berarti waktu. Artinya Shiwa ada di luar waktu. Karena ada di luar waktu, maka ia tidak terkena hukum waktu. Ia tidak dikendalikan tapu mengendalikanwaktu. Itulah sebabnya Ia disebut *Sang Hyang Maha Kala.* Pengertiannya, Ia lebih besar daripada waktu.
Shiwa yg memiliki sifat-sifat niskala disebut Shunyashiwa, atau Shiwa yg bersifat shunya. Shunyashiwa juga disebut Sang Hyang Tan Kawenang. Juga dinamakan Sang Hyang Acintya. Ia tidak bisa dipikirkan dengan pikiran. Ia tidak bisa dikatakan dengan kata-kata. Ia tidak bisa dirasakan den6indria perasa. Ia tidak bisa ditunjukkan dengan jari telunjuk. Shunyashiwa atau Sang Hyang Tan Kawenang bersifat *niraksara.* Ia tidak bisa direpresentasikan oleh aksara. Ia bebas dari aksara. Pengertiannya, Ia melampui aksara. Oleh karena itu, Sang Hyang Tan Kawenang disebut *Ongkara Tan Parupa Shastra,* yaitu Ongkara yg tidak lagi memiliki rupa shastra. Karena tidak memiliki rupa shastra, maka Ongkara ini sulit sekali dibayangkan. Menurut ajarannya Ongkara yg satu ini memang tidak untuk dibayangkan. Karen pikiran tidak akan "sampai" di sana.
Shiwa yg tanpa rupa itu kemudian masuk ke dalam tubuh. Maka terjadilah perubahan dari Shiwa yg tanpa rupa menjadi Shiwa yg memiliki rupa. Ongkara Tan Parupa Shastra pun akhirnya berubah menjadi Ongkara Rupa Shastra. Sang Hyang Tan Kawenang berubah menjadi Sang Hyang Wenang. Sifat niskala berubah menjadi sifat sekala. Karena sudah bersifat sakala, maka Ia terkena hukum waktu. Pendek kata, di dalam tubuh Ia menjadi isi dari prana. Itulah sebabnya Ia dinamakan Pranawa. Secara umum Pranawa diartikan sebagai Ongkara yg ada di dalam tubuh. Karen hukum waktu, maka baik prana maupun Pranawa sama-sama datang dan sama-sama pergi. Sama-sama ada dan sama-sama hilang.
Prana adalah bayu. Bayu diibaratkan tali temali yg mengikat tubuh, sehingga bagian-bagian tubuh tidak terlepas satu sama lainn. Kalau nafas hilang, orang pun akan langsung mati. Tidak lam kemudian tubuhnya akan tercerai-berai. Bagian tubuh yg berasal dari tanah akan kembali ke tanah. Bagian tubuh yg berasal dari air akan kembali ke air. Bagin tubuh yg berasal dari api akan kembali ke api, baik api dari tanah (pawaka), atau api dari air (pawamana), maupun api dari matahari (suci). Nafas sendiri adalah angin yg berasal dari udara. Oleh karena itu, nafas akan kembali ke udara. Ada dua tingkatan udara, yaitu udara dengan sabda dan udara tanpa sabda. Udara dengan sabda adalah udaranya panca mahabhuta atau udaranya pradhana. Udara tanpa sabda adalah udaranya purusha. Hal ini perlu digarisbawahi, karena menurut tattwanya, nafas kembli ke udaranya panca mahabhuta. Sedangkan Ongkara Pranawa kembali ke udara tanpa sabda atau udara purusha.
Ada bermacam-macam bayu di dalam tubuh. Semua bayu itu dikelompokkan menjadi dua puluh. Sebutannya adalah *rong puluh.*
Bayu yg berjumlah dua puluh kemudian diperas menjadi sepuluh. Namanya *Dasabayu.* Sepuluh bayu lagi diperas menjadi lima yg utama, yaitu : bayu apana, wyana, udana, samana, prana. Kelimanya disebut *Pancabayu.*
Yg paling utama di antara semua bayu adalah prana atau nafas. Mengapa dikatakan paling utama? Karena nafas itulah yg menghubungkan badan kasar dengan badan halus. Karen di dalam itulah adanya Ongkara Pranawa. Karena nafas itulah yg menghidupkan dyg sekaligus mematikan.
Apakah hidup dan apakh mati itu? Hidup dan mati dari dulu sampai sekarang tetap sebuah misteri. Kalau orang masih menghirup nafas, maka dikatakan orang itu masih hidup. Kalau orang sudah menghembuskan nafas terakhir dikatakan orang itu sudah mati. Namun demikian, tetap saja orang tidak tahu kapan sebenarnya ia menghirup nafas yg pertama.
Orang tetap saja tidak akan "menyaksikan" menghembuskan nafas terakhirnya. Begitu nafas terakhir dihembuskan, maka orang itu langsung mati. Bukankah otang mati tidak tahu dirinya mati. Kesimpulannya, orang tidak mengetahui hirupan nafas pertamanya, dan orang tidak mengetahui hembusan nafas terakhirnya.
Jangankan mengetnafas yg pertama dan nafas yg terakhir, bahwa nafasnya terus keluar masuk tubuh pun tidak selalu disadarinya. Kalau saluran pernafasannya tersumbat karena pilek misalnya, barulah orang umumnya ingat dengan nafasnya. Ironis sekali. Itulah sebabnya, diajarkan pranayama sebagai brata. Tujuannya membuat orang selalu ingat bahwa dirinya bernafas. Membuat orang sadar di dalam nafasnya ada Ongkara Pranawa.
Nafas masuk diktakan sebagai ibu. Rupa shastra si ibu adalah ANG. Nafas keluar disebutkan sebagai Bapa. Rupa shassi bapa adalah AH. Sedangkan nafas diam adalah anaknya. Rupa shastra si anak adalah Ongkara Pranawa. Si anak diapit oleh ibu dna ayahnya. Ibu ada di bawah posisinya nungkayak (terlentang). Bapa ada di atas posisinya makakeb (telungkup). Si anak ada di tengah-tengah posisinya ngadeg (berdiri).
Ongkara Pranawa baru salah satu dari ratusan rupa dan nama Ongkara yg dititipkan kepada kita melalui berbagi pustaka. Untuk apa kira-kira para pendahulu menitipkan ratusan nmaa rupa dan nama Ongkara itu kepada kita?
Jawablah sendiri.
Komentar
Posting Komentar