Langsung ke konten utama

Tutur Maharaja Bhaerawa



                TUTUR MAHARAJA BHAERAWA.


Ong Awighnamastu Nama Siddham.

Ascayat dharanam vivarjite subham tarsenu adyapakam.

Meva pandawa gascatemanujano vantah suvandah tatham grpyate.

Maciram sadaamrtha idham sahrenayaanangamah.

Senabhih jigisuh nuyakta dharanam prapyanca karanjitah.



Tidak terkatakan kesempurnaan yoga dan tarikat serta sadhana yang dilakukan oleh pandawa bersaudara dalam melakukan trikaya parisudha. Kemudian pandawa bersaudara inilah yang nantinya akan mendapatkan mandat dari Maharaja Hastinapura. Mereka akan diutus ke tempat yang berbeda-beda dan pada penjuru yang berbeda pula.


Sang Bhimasena atau Wrekudara diutus menuju ke arah timur. Perjalanan yang dilakukan juga sangat jauh dan beliau terlunta-lunta sebagai seorang pengembara. Perjalanan Bhimasena sampai pada sebuah negeri dimana mata airnya terus mengalir tanpa putus, suasananya sangat indah dan mempesona, dan wilayahnya datar serta sangat luas. Lembah dan gunung juga tidak terlalu banyak dan tidak terlalu terjal.


Bhimasena terus berjalan mendekati wilayah itu, dan dia menemukan dua orang yang tengah bercakap-cakap di bawah sebuah pohon bungur. Sang Wrekudara mendekat dan mendengarkan percakapan mereka. Yang satu kemudian berkata kepada adiknya, “ Wahai adikku Wishnu, ada sebuah undangan pesta kurban yajnya yang akan dilakukan di negeri hastinapura. Apakah engkau mengetahui hal itu ?”.


Menjawablah sosok tadi yang dinyatakan sebagai Wishnu, oleh orang pertama, “ Benar oh kakakku Brahma. Adikmu ini mengetahui tentang hal tersebut. Sebuah upacara untu membuat sanggar dengen. Ada banyak hal yang diciptakan oleh para Dewata, dan siapakah yang dapat mengetahui isi serta tujuan sesungguhnya kehidupan ini ?. Apakah dengan jalan membuat persembahan seseorang dapat mengerti hakikat itu ?. Apapun yang dipersembahkan asalkan dengan tulus iklas, maka disanalah letak utamanya. Meskipun persembahan itu sangat kecil, tidak ada Dewata yang menolak persembahan umatnya, dan meskipun dia membaca mantra weda dengan cara yang kurang fasih, maka tidak ada Dewata yang menyatakan bahwa yajnya itu gagal. Hanya wiku yajamana sajalah yang mengatakan itu benar atau salah, hanya kata hati manusia belaka “.


Demikian kata Wishnu dan Brahma kemudian menjawab, “ Benar katamu adik, tetapi jika menurutku, jauh lebih baik mengertikan hakikat kebenaran dan memuja Dewata itu di dalam diri saja. Sebab para Dewa sendiri menggunakan badan mereka untuk yajnya dan ada para Dewa juga bersemayam dalam diri (dalam badan seseorang). Di dalam badan itulah, kebenaran sejatinya yang harus di cari, di sucikan dengan sebuah disiplin ilmu yang namanya “MAYA SUKMA”.


Setelah berkata demikian, Brahma kemudian memalingkan wajah dan berkata pada Wishnu, “ Adikku, siapakah orang yang ada di sisimu itu?. Dia sangat kuat dan tampaknya dia mahir menggunakan senjata, ayo tanyalah dia!”.


Kemudian Wishnu mulai bertanya kepada orang yang ada di sampingnya itu, yang tidak lain adalah Wrekudara, “ Oh insan asing, siapakah namamu?. Katakanlah kepada kami, sebab wajahmu itu sangat berbeda dari kami di sini semuanya. Katakanlah dengan jujur “.


Setelah ditanya demikian, Wrekudara kemudian menjawab, “ Aku adalah ksatria Pandawa, namaku adalah Bhimasena. Kakakku yang sulung adalah Yudhistira, lalu siapakah kalian berdua, aku mendengar percakapan kalian berdua sedari tadi ?”.


Setelah ditanya demikan, maka bersabdalah insan yang ditanyai Wrekudara, “ Iya Bhima, aku adalah Brahma, ini adikku bernama Wishnu dan kami adalah pelayan dari Sri Candra Bhaerawa, yang tidak lain adalah Bhatara Guru sendiri. Yang menjadi penguasa di negara Dewantara. Beliau adalah penjelmaan Bhatara Catur Dasa Manu. Yang merupakan keturunan Swayambhuva Manu di jaman dulu, kami adalah wangsa Parya dan kami tinggal disini di wilayah Dewantara.


Bhima menjadi sangat bingung mendengar kalimat penjelasan itu. Kemudian Wrekudara kembali berkata, “ Wangsa apakah yang disebut dengan Parya itu ? “.


“ Begini Bhima, dengan kekuasaan kami, kami inilah Brahmana, kami inilah Ksatria, kami inilah Wesia dan kami inilah Sudranya “.

Bhima kembali berkata dengan kebingungan, “ Jika demikian, apakah berarti Maharaja Bhaerawa tidak memberikan contoh pelaksanaan wangsa dengan baik ?”.


“ Oh Bhima, jika kau melihat dan mengertikan wangsa dari kelahiran, maka itu adalah keliru. Sebab Brahmana dalam pengertian kami adalah dia yang melaksanakan kurban suci setiap hari, mengetahui Brahmana yang sempurna, mengerti puja dan mantra serta sapta Gangga. Juga mengetahui mudra. Mereka luput dari keinginan untuk wanita-wanita terlarang, luput dari dosa dan hawa nafsu serta kebohongan dan kebencian. Tidak berjudi dan hanya Dharma sastralah yang dibicarakan setiap waktu, makan hanya makanan suci dan tidak menyombongkan diri. Demikianlah kelahiran Brahmana “.


Kemudian Brahma kembali melanjutkan pembicaraannya kepada Bhima, “ Mereka yang dinyatakan sebagai ksatria adalah raja-raja yang memiliki tugas melindungi masyarakat. Berusaha mensejahtrakan rakyatnya, memberikan sumbangan, kemudian menjadi wilayah keadilan bagi semuanya. Tidak melenceng dari jalan dharma, setia pada tindakan dan juga kata-kata. Kasih sayang yang besar pada rakyatnya dan tidak mengawini wanita yang bukan istrinya. Senantiasa menerapkan ajaran suci dan juga berjalan dalam kejujuran. Itulah ksatria”.


“ Sedangkan yang disebut dengan waisya adalah mereka yang mengabdikan diri dalam perkebunan, perikanan dan juga pertanian. Mereka menanam bahan makanan yang berguna bagi kehidupan masyarakat banyak. Kemudian sangat bhakti kepada seorang dwija atau orang suci. Tahu akan seluk beluk perekonomian dan tujuannya pada kesejahteraan umum. Itulah seorang waisya “.


“ Adapun seorang sudra itu adalah mereka yang menguasai dengan baik ketenaga kerjaan, berlayar, berdagang, menjadi penjual dan pembeli barang. Sandang pangan dan papan, adalah tanggung jawabnya. Kemudian bhakti kepada para Dewa, leluhur dan negaranya. Itulah seorang sudra “.


“ Jikalau terlahir sebagai seorang brahmana secara garis keturunan, namun jika dia tidak mengambil kewajiban sebagai seorang brahmana, dan tidak mengerti akan hakikat ke Tuhanan, maka dia kurang tepat disebut brahmana. Demikian juga dia yang lahir dari keturunan ksatria, namun karena tidak mengetahui hakikat dan swadharma seorang ksatria, maka dia kurang layak menjadi ksatria “.


Begitu kalimat Brahma, maka Wrekudara sangat terkejut mendengarkan hal itu. Selama ini dia hanya melihat dan mengikuti aturan kata-kata saja dan baru kali ini dia mendengarkan penjabaran yang demikian luasnya. Kemudian Bhima berkata, “ Wahai insan yang terpelajar, sekarang bantulah hamba untuk bertemu dengan junjunganmu, Maharaja Bhaerawa. Saya sangat ingin melihat dan mengetahui bagaimana beliau menjalankan swadharmanya “.


Brahma dan Wishnu kemudian mengiyakan apa yang diminta oleh Bhima, maka dia diajak untuk berkeliling menyaksikan wilayah Dewantara. Dengan perasaan penuh dengan ketakjuban, Bhiam berkata, “ Agama apa yang dianut oleh masyarakat disini ?”.

Pertanyaan Bhima dijawab, “ Wahai Bhima, agama masyarakat di Dewantara adalah agama “ Aji Pegat “ ( aji kelepasan atau pamutus ). Tidak terikat dunia lagi, tidak ada perbedaan serta tidak ada lagi upacara yang besar-besar. Hanya menyelami hakikat manusia semata yang dilakukan oleh masyarakat Dewantara ini. Sebab kebenaran itu ada di dalam diri masing-masing “.


Apa yang dinyatakan tersebut, kemudian dibenarkan oleh Bhima. Setelah lama berjalan maka kini tibalah Bhima di dpean pintu istana kerajaan. Brahma kemudian menghadap raja, sedangkan Bhima dan Wishnu masih menunggu diluar pintu sebelum dipersilahkan untuk masuk.


Saat itu maharaja Bhaerawa tengah disembah oleh beberapa petinggi Dewantara. Segera Brahma menyatakan bahwa ada seorang utusan Hastinapura datang menghadap, maka Maharaja Bhaerawa mempersilahkan Bhima untuk masuk dan didampingi oleh Wishnu. Kemudian mereka menghadap Maharaja Bhaerawa yang juga bergelar Bhatara Guru.


Kemudian dengan sangat ramah, Maharaja Bhaerawa menyapa Bhima, “ Wahai cucuku Bhima, baru sekarang aku dapat bertemu denganmu. Mari, duduklah di sini sampingku dan pada tempat duduk yang telah disediakan untukmu “.


“ Daulat tuanku Maharaja, ampuni hamba yang baru juga pertama kali datang kesini dan bertemu dengan paduka “.


Setelah disembah oleh banyak tandadimantri, maka Maharaja Bhaerawa kemudian berkata, “ Wahai tandadimantriku semuanya, sekarang aku akan memberikan kalian sebuah penjelasan, bahwa jika ada seorang raja yang benar-benar saleh dan berbhakti serta senantiasa menjunjung dharma dan dikasihi oleh seluruh dunia, maka dia dan aku tunggal. Raja yang benar-benar demikian itu akan menjadi tangga untuk pulang ke alam sunya “.


Kemudian Maharaja Bhaerawa pun bertanya kepada sang Bhima, “ Duhai anakku Bhimasena, apakah yang menjadi tujuanmu datang kemari?. Dengan segala hormatku, maka sampaikanlah semuanya kepadaku “.


“ Sembah hamba wahai junjungan Dewantara. Hamba di utus oleh prabhu Kesawa dan juga kakakku Yudistira untuk menyusup ke setiap wilayah desa-desa untuk mengetahui, apakah ada pelanggaran akan tata susila, atau apakah ada orang-orang yang melakukan tindakan menyimpang, agamyaagamana, memperistri wanita yang tidak patut untuk diperistri, atau apakah ada orang yang membuat masyarakat sengsara, sudah ada berapa raja yang tidak menjunjung dharma dan menentang Kresna dan Yudistira. Oleh karena itulah beliau ingin menyerang raja yang demikian, beliau ingin menang atau mati dalam pertempuran “.


Setelah menyatakan hal tersebut, maka Bhimasena kembali berkata, “ Selain itu, ada sebuah tradisi kuno yang datang dari Purwa Dharma Sasana yang menyatakan bahwa seseorang harus berpikir yang baik, kemudian berkata yang baik dan berbuat yang baik (Trikaya Parisuddha). Selain itu mereka juga tidak lupa mendirikan kahyangan untuk pemujaan kepada Dewata dan roh leluhur. Kemudian mengupacarai bayi yang baru lahir, dan ketika ada seseorang yang meninggal dunia, maka akan diadakan sebuah upacara penyucian bagi sukmanya. Singkat cerita katanya, Panca Yajna dijalankan dengan baik dan sesuai dengan aturan “.


Mendengar apa yang dinyatakan oleh Bhima, maka Maharaja Bhaerawa kemudian berkata, “ Duhai Wrekudara, aku sadar dengan apa yang telah menjadi tindakan dan pekerjaannu itu. Aku juga menyadari bahwa tujuanmu adalah baik, dan peganganku juga disebut dengan dharma. Aku juga tidak berniat untuk bertempur melawan raja besar seperti Krena dan Yudhistira. Entah sudah berapa banyak orang dari Dwarawati yang datang kemari dengan tujuan  untuk kesejahteraan, demikian juga orang-orang di sini datang ke sana  untuk tujuan yang sama. Aku juga sadar bahwa Trikaya Parisuddha itu adalah ajaran yang datang dari Sanghyang Mahadewa, yang berstana di Kailasa, dan ajaran itu sekarang diturunkan kepada kakakmu Yudhistira. Seluruh rakyat Bharata menganut ajaran itu dengan baik “.


“ Rakyat melakukan itu karena merasa takut pada kesaktian raja berdua ( Kresna dan Yudhistira ). Itulah karena mereka memuja kahyangan dengan banten. Sementara mereka menyembah arca, namun mereka tidak mengerti hakikat kesunyataannya. Tidak ada Dewa yang ada di meru atau kahyangan, sebenarnya Dewa itu berstana di dalam diri manusia itu sendiri. Jika penganutnya banyak yang cuntaka, maka tidak akan ada orang yang datang untuk sembahyang “.


Penjelasan Maharaja Bhaerawa dilanjutkan kembali, “ Demikianlah di sini, masyarakat Dewantara tidak mengenal upacara, apalagi bhuta yajnya. Tidak tahu apa yang namanya sajen, caru dan persembahan pada para bhuta. Siapa yang pernah melihat bhuta kala mati, karena tidak makan caru?. Jika arca itu tidak diberikan sesajen, apakah wajah arca itu berubah?. Jika dilemparkan ke hutan, juga akan sama saja. Seluruh upara dilakukan dengan banyak harta yang berlimpah, sampai habis. Kemudian menghaturkan daksina kepada pemimpin upacara, dan itu dianggap sebagai persembahan kepada Ida Sanghyang Widdhi, padahal, wajah Sanghyang Widdhi saja mereka tidak tahu. Apakah Sanghyang Widdhi menikmati banten atau tidak? “.


Maharaja Bhaerawa masih menjelaskan pandangannya kepada Wrekudara, “ Itulah wahai Wrekudara, aku tidak ingin meniru perbuatan orang yang bodoh demikian. Setiap hal dibuatkan persembahan dan sesaji, aku juga tidak takut kepada orang yang sakti. Meskipun demikian, aku masih menaruh hormat kepada Kresna dan juga Yudhistira. Jika kau ingin mengetahui dharmaku, oh Bhima, maka bakarlah aku, aku tidak akan terbakar. Tenggelamkanlah aku, aku tidak akan tenggelam. Jika kau kubur aku, aku juga tidak akan mati. Jika kau tusuk aku, maka aku tidak akan terluka. Setelah kau mengetahui dharmaku seperti ini, maka pergi dan katakanlah kepada kakakmu Yudhistira “.


Demikian kata Maharaja Bhaerawa, maka Bima kemudian berkata, “ Wahai Maharaja, tidak benarlah perbuatan yang merendahkan dan meremehkan orang yang memuja di parhyangan. Tidak benar juga menyalahkan orang yang membuat sesaji dan persembahan. Persembahan itu adalah ajaran suci yang dinyatakan oleh Sanghyang Widdhi, dibenarkan oleh para Dewa. Upacara juga sebagai sarana untuk meruwat malapetaka manusia. Orang yang tidak memiliki keyakinan demikian, dan tidak mempersembahkan yajnya kepada Tuhan dan para Dewa, maka dia tidak pantas dinyatakan sebagai manusia. Sekarang apa agamamu, agar aku dapat mengatakannya kepada kakakku Yudhistira “.


Setelah mendengar Bhima, maka Maharaja Bhaerawa kemudian berkata, “ Baikla Bhima, sejatinya aku tidak merendahkan dan menyalahkan orang yang demikian. Tetapi pandanganmu itu yang keliru, kau membuat banyak patung binatang dan kau taruh di tempat suci dan di berikan persembahan. Itu sama saja dengan manusia yang bingung. Aku tidak berniat untuk mengikuti jejak manusia bodoh seperti itu, itu adalah orang yang mendeakan segala sesuatu “.


“ Keyakinan kami adalah memuja Sanghyang Adibuddha, yang disebut dengan ajaran Bhajradhara. Sangat sedikit mempersembahkan yajnya sesajen, dan sesungguhnya Sanghyang Widdhi ada di dalam diri sendiri. Mengetahui hakikat diri , adalah sejati. Surga dan neraka juga awal mulanya ada dalam diri sendiri. Aku tidak mengharapkan surga dan neraka, sebab orang yang mengharapkan surga adalah orang yang penuh dosa. Itu sama saja dengan suka dan duka dalam diri sendiri. Namun jika ada orang yang luput dan lepas dari suka dan duka, maka dialah manusia mahardhika sesungguhnya. Kemanapun dia pergi, maka dia akan disenangi oleh banyak orang dan sahabatnya melimpah. Katakanlah itu pada kakakmu Yudhistira “.


Setelah mendapatkan penjelasan demikian dari Maharaja Bhaerawa, maka Bhima mengundurkan diri. Negeri Dewantara ditinggalkan dan dia menuju Hastinapura. Melaporkan apa yang telah dia dapatkan dari negeri Dewantara.

Mendengar apa yang dinyatakan oleh Bhima, maka Kresna kemudian berkata pada Yudhistira, “ Wahai kakakku, aku juga mengetahui bahwa banyak ada jalan yang diciptakan Tuhan dan semuanya beragam. Namun yang namanya ciptaan, pasti memiliki kelemahan “.


Maharaja Yudhistira kemudian menjawab, “ Menurutku, Maharaja Bhaerawa sangat memahami ajaran yoga sanyasa, dia mengerti tentang hakikat pandita yang mulia. Namun jika meniadakan upacara dan persembahan, maka itu juga tidak baik. Sebab jika ajaran itu dijabarkan dan dilaksanakan oleh semua orang, apalagi orang yang tidak berbudi, maka dampaknya bagi dunia akan buruk. Sebab wilayah tanpa sebuah persembahan dan upacara akan tetap kotor dan tidak dip[rayascita sama saja dengan tidak memiliki kesucian “.


Kemudian Kresna berkata, “ Baiklah jika demikian, aku akan mengutus patih Kiratha untuk datang ke nederi Dewantara. Wahai patih, katakan pada Maharaja Bhaerawa, bahwa dia harus membangun parhyangan dan sad kahyangan. Jika dia menolak, maka aku akan memeranginya “. Setelah mendapatkan perintah demikian, sang mahapatih kemudian menyembah dengan penuh hormat dan berangkat menuju Dewantara.

Setelah melakukan perjalanan, maka tibalah mahapatih tersebut di negeri Dewantara dan dengan segera menghadap Maharaja Bhaerawa dan menyatakan apa yang disampaikan oleh Kresna, “ Wahai raja, mohon ampuni hamba, sebab hamba ini adalah seorang utusan. Raja Kresna meminta tuanku untuk membangun parhyangan dan melakukan upacara (karma sanyasa).. Memang baik, jika dapat memahami hakikat diri sejati, tetapi jika wilayah itu tidak mendapatkan upacara, maka akan bercampur aduk saja namanya. Itu juga tidak baik bagi kesejahteraan dunia dan seluruh isinya “.


Patih itu kembali memberikan pembabaran, “ Jika paduka tidak melakukan upacara, itu sama saja dengan tidak menghormati Dewi Wasundhari atau Ibu Pretiwi. Padahal Ibu Pretiwilah yang memberikan kesejahteraan, maka dengan demikian, tuanku harus menghormati beliau dengan persembahan. Demikian juga dengan Ibu Laksmi, sebaiknya paduka memberikan penghormatan kepada beliau yang memang memberikan kesejahteraan. Maka bangunlah Sad Kahyangan dan membuat upacara. Jika yang mulia tidak berkenan untuk mengikuti apa yang telah diperintahkan oleh junjungan hamba (Kresna dan Yudistira), maka bersiaplah tuanku, pasukan Hastinapura akan datang memerangi tuanku disini. Maka bersiaplah tuanku dengan segala senjata “.


Mendengar apa yang dinyatakan sang utusan, maka Maharaja Bhaerawa tertawa, “Wahai patih, aku percuma berdebat dengan dirimu, sebab jika aku berdebat dengan dirimu, juga tidak akan ada artinya, sekarang pergilah. Katakan kepada rajamu, aku tidak takut pada orang sakti. Kresnalah yang memulai pertengkaran ini terlebih dahulu. Aku juga ingin mengetahui bagaimana kehebatan Kresna itu. Memang dia merupakan penjelmaan Wishnu dan dia telah dikutuk dan terus menerus memunculkan kemarahan “.


Setelah berkata demikian, maka mohon pamitlah sang utusan, kemudian berangkat menuju Hastinapura. Mendengar apa yang dinyatakan san utusan, maka murkalah Kresna, kemudian diikuti Bhima, Arjuna, Nakula dan Sahadewa.


Kemudian dengan serta merta, mereka mengumpulkan seluruh punggawa, senapati, maharatika dan ksatria perkasa lainnya. Lengkap dengan senjata yang ditempatkan di kereta perang yang ditarik kuda dan gajah-gajah. Semuanya kemudian berangkat dan diiringi oleh seruan sangkhakala yang menderu-deru dengan terompet kerang membahana. Akhirnya, pasukan itu tiba di tepian wilayah Dewantara.


Mundurlah dan sangat ketakutan orang-orang yang ada di tepian itu. Mereka kemudian melaporkan keadaan genting itu pada pihak kerajaan, maka berangkatlah mahapatih Witaraga, kemudian patih Mangkubhumi, patih Dewantaka. Mereka semuanya berangkat bersama prajurit pilihan dan dengan senjata yang lengkap. Maka pecahlah perang, dan tewaslah patih Witaraga oleh sang Arjuna. Patih Mangkubhumi tewas oleh Sang Bhima. Dan Patih Dewantara oleh Sang Nakula. Mundurlah prajurit Dewantara dan melapor kepada junjungan mereka.


Maka keluarlah Maharaja Bhaerawa sekarang, dia keluar tanpa senjata untuk menyambut datangnya musuh. Nakula dan Sahadewa kemudian menyaksikannya dan berkata, “ wahai raja perkasa, mengapa engkau tidak membawa senjata dalam peperangan ini?. Ayo ambillhan senjatamu dan perangi kami! “


“ Hai kalian berdua, kalian tidak mengetahui bahwa aku tidak perlu memakai senjata dalam peperangan, kalian sendiri tidak mengetahui senjataku. Ayo tusuklah aku sekarang!! “.

Nakula dan Sahadewa kemudian menerjang sang musuh dan menikamnya dengan segera. Namun senjata itu tidak dapat melukai sang raja, dan berlarilah Nakula dan Sahadewa melapor pada Sang Arjuna, tentang kesaktian Maharaja Bhaerawa.


Arjuna kemudian menyerang Maharaja Bhaerawa yang tanpa senjata. Kemudian Arjuna menembakkan panah saktinya yakni panah Pasupati. Tetapi panah tersebut sama sekali tidak mempan terhadap badan Maharaja Bhaerawa. Maharaja itu kemudian berseru kepada Arjuna, “ Hai Arjuna, Pasu itu artinya baik, sedangkan pati adalah intisari perkataan. Pantaslah jika musuhmu dulu, seperti karna dan Niwatakawaca kalah, sebab dia sombong dan merasa hebat dalam perkataan. Jika mereka belum mengerti tentang hakikat itu, maka mereka pasti kalah dengan senjatamu itu“.


Demikian Maharaja Bhaerawa meneriaki Arjuna. Karena pemandangan itulah, Arjuna sangat terkejut dan lari menuju kakaknya Bhimasena. Wrekudara sangat murka, dan dia mencabut sebuah pohon ancak dan melemparkannya kepada Maharaja Bhaerawa. Raja itu diangkat oleh Sang Bhima, dibantai, dihantam dan ditusuk, lalu dibuang ke dalam kolam, namun tidak mati juga dan tetap segar bugar.


Marahlah Bhima, kemudian dia mencabut sebuah pohon kelapa sawit, dan pohon itulah yang dipergunakan untuk menyerang sang raja. Tetapi Maharaja Bhaerawa tidak bergiming dan terluka sedikitpun. Maka Bhima kemudian mengambil bongkahan batu dan batu itulah yang dihantamkan kepada Maharaja Bhaerawa hingga hancur. Namun Maharaja Bhaerawa tetap segar bugar tiada terluka.


“ Apa lagi sekarang senjatamu wahai Bhima?. Kamu tidak mengetahui hakikat hidupku ini “.


Dengan mengetahui kekebalan Maharaja Bhaerawa demikian, maka sang Bhima kemudian lari menuju Kresna dan melaporkan keajaiban-keajaiban ini. Setelah menerima laporan sang Bhiwa, maka Sang Kresna kemudian berangkat menuju Maharaja Bhaerawa dan mulai melakukan debat filsafat, “ Baiklah wahai Maharaja Bhaerawa, aku juga menjadi sangat takjub melihat kesaktianmu, apa sebenarnya ilmu yang kau miliki?. Sehingga kamu tidak mau membangun sad kahyangan dan memuja Dewata dengan upacara. Kamu hanya makan saja, tetapi tidak mau membuat persembahan “.


“ Iya wahai Kresna, ilmu yang aku pelajari adalah ilmu Aji Bajradhara, memuja Sanghyang Adibuddha, yang merupakan hakikat diri sendiri. Yang disembah, dipuja, tidak berbeda dengan diri sendiri. Itulah yang berada di sela-sela keningku “.

Kresna kemudian kembali bertanya, “ Dimanakah engkau menyatukan ilmumu itu? “.


“ Dalam diri ada yang disebut atma, dan itulah yang dipuja dalam diri sendiri. Itulah yang dibuatkan tempat suci, dan jika atma itu distanakan di tempat suci, maka itu salah jalan namanya “. Demikian Maharaja Bhaerawa menjelaskan.

Sekarang giliran Kresna berkata, “ Oh raja sekarang tebaklah apa ajian ini ? “.


Setelah berkata demikian, Kresna kemudian mengubah diri menjadi Wisnu Murti dan rupanya sangat menakutkan sekali. Maharaja Bhaerawa kemudian berkata dan menebak, wujudmu itu berasal dari angin, beralaskan tunas. Selain itu ada anima, laghima, mahima, praptima, prakamya, isitwa, masitwa,  yatrakama“.


Anima : 

Berarti mempunyai pikiran lebih besar dari yang sangat besar. Berperasaan kecil dari yang sangat kecil sekali. Kesimpulannya adalah tiada lain bahwa orang yang demikian sudah dapat menguasai diri atau dapat mengendalikan diri sendiri, sehingga mereka yang demikian itu bisa mencapai atau menikmati kebahagiaan hidup lahir dan batin, tiada bangga  pada diri pada waktu menikmati kesenangan dan sebaliknya tiada kecewa, bersedih, marah-marah, mendendam dikala ditimpa kesusahan apapun yang menekan pikirannya. Orang-orang seperti ini telah dapat mengekang sad ripu, sapta timira dan sudah bisa berdiri diatas awidya untuk menjunjung dharma.


Laghima :

Berarti mempunyai perasaan berat dari yang terberat dan yang berpikir ringan dari yang teringan. Kesimpulannya adalah dapat menunjukkan kebijaksanaan seseorang untuk mengatasi suatu masalah berpikir, berkata dan berbuat sesuatu senantiasa bersumberkan kesusilaan atau kebenaran berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab.


Mahima :

Berarti tiada mempunyai  perasan takut bila berpergian ke mana-mana, selalu percaya pada diri sendiri, tahan uji dengan rintangan, hambatan dan godaan apapun. Orang-orang yang demikian akan menjadi manusia terpuji. Kesimpulannya mereka yang demikian selalu percaya dengan Sanghyang Widdhi Waha atau Tuhan Yang Maha Esa, taat mempelajari atau mengamalkan ajaran kebenaran dan kesucian selama hidupnya.


Praptima :

Yakni dapat mencapai suatu tujuan tertentu, yang berdasarkan dharma atau kebenaran. Tidada merasa cepat jemu dan lelah, tiada pula menyesal pada dirinya sendiri bila ada sesuatu yang tidak menguntungkan pada dirinya. Kesimpulannya, orang-orang yang demikian dapat disebut orang yang beriman tinggi, tahan uji dengan godaan-godaan, rintangan, hinaan dan fitnah apapun.


Prakamya :

Berarti mempunyai perasaan tua, berpikir sebagai laki-laki dan wanita. Kesimpulannya dari kalimat ini adalah orang-orang  seperti itu  sudah bisa mencapai keseimbangan berpikir, berkata dan berbuat yang senantiasa berdasarkan dharma atau kebenaran. Mereka selalu melakukan mulat sarira pada dirinya sendiri, tiada iri hati, mencemooh orang lain. Walau mereka  hidupnya selalu menderita, kesusahan, tekanan dari segala pihak manapun, namun mereka tiada merasa sedih atau menyesal. Justru mereka itu sudah merasa segala yang terjadi pada dirinya itu adalah berkat karena asuba – suba karma (baik buruk) yang dihasilkan oleh karma  itu sendiri.


Isitwa :

Berarti dapat menyatukan pikiran kehadapan para Dewa di sorga. Kesimpulannya, mereka seperti itu akan menjadi manusia terpuji, diteladani oleh orang-orang yang akan berbuat dharma atau kebenaran. Atau pula orang-orang yang seperti itu  dapat dianggat sudah bisa mencapai moksah semasih hidup (bhukti Moksah). Buktinya mereka seperti itu, selalu bekerja demi kepentingan dharma, lebih banyak bekerja untuk kepentingan atau kebahagiaan orang lain.


Wasitwa :

Berarti tiada pernah angkuh, congkak dan tiada pernah merasa bangga atau memamerkan dengan maksud yang kurang baik, semua kemampuan yang ada pada dirinya. Kesimpulannya, semua yang didapat dengan usaha mereka itu berdasarkan anugrah dari Ida Sanghyang Widdhi Wasa yang harus diamankan dan diamalkan.


Yatrakama :

Yakni disayangi oleh Sanghyang Widdhi Wasa, karena mereka seperti itu sudah bisa menyatukan pikirannya dengan Sanghyang Widdhi Wasa. Kesimpulannya, mereka yang seperti itu sudah bisa pula dianggap moksah semasih hidup. Akan tetapi untuk mencapai hal tersebut tidaklah gampang, semua itu harus didasari melalui Tri Kaya Parisuddha atau dengan melalui catur paramita. Dan lain sebagainya yang bertujuan baik dan suci.


Setelah berkata demikian, Kresna tersenyum dengan lemah lembut. Beliau berkata, “Nah Maharaja, sekarang giliranmu mengeluarkan ajian “.


“ Wahai Kresna, sekarang lihatlah oleh matamu, wujudku ini. Ini adalah ajian Brahmana Arddhanareswari namanya. Lihatlah apakah wujudku ada cacat celanya “. Setelah berkata demikian, maka tubuh Maharaja Bhaerawa seketika berubah menjadi bercahaya. Sebesar lengan, kemudian berubah kembali menjadi sebesar ibu jari, kemudian berubah kembali menjadi sebesar biji yang dibagi tujuh dan akhirnya menghilang tanpa bekas sama sekali. Termangulah Kresna menyaksikan pemandangan itu dengan penuh takjub.


Kemudian Kresna berkata, “ Wahai Maharaja Bhaerawa, engkau sungguh perkasa, maka sebaiknya aku akan berunding dengan Maharaja Yudhistira. Kekuatanmu itu sungguh tidak dapat aku mengerti “.


Maharaja Bhaerawa kemudian berkata, “ Kresna, jadilah saksi akan ucapanku ini sekarang. Aku akan bertarung pengetahuan kepada Maharaja Yudhistira. Jika aku kalah,, ada seorang putriku yang bernama Diah Ratna Sasangka, dia adalah putri permaisuriku yang bernama Dewi Bhanurasmi, keturunan Hyang Catur Dasa Manu. Dialah yang aku jadikan taruhan kepada Maharaja Yudhistira, dan aku akan pulang menuju alam Abhirati “.


Maka tidak terceritakanlah waktu berlalu, hadirlah Maharaja Yudhistira di tempat Maharaja Bhaerawa. Kemudian Maharaja Bhaerawa berkata, “ Wahai Yudhistira, engkau adalah perwujudan dari Bhatara Dharmaraja, ayah dan ibu kebenaran yang menyokong dunia. Yang telah sempurna menjalankan Tri Kaya Parisuddha. Namun sia-sialah karmasanyasa jika tidak dibarengi dengan yoga  sanyasa. Ayo katakanlah padaku sekarang “.


Maharaja Yudhistira kemudian berkata, “ Wahai Maharaja Bhaerwawa, sekarang  aku akan memintamu untuk mengadu pengetahuan (jnana sakti). Kosongkanlah jasadmua dan pergilah ke alam kematian, maka aku akan menghidupkanmu kembali “.


“ Duhai Maharaja Yudhistira, sebaiknya engkaulah yang terlebih dahuli pergi meninggalkan jasadmu itu, sebab engkau adalah raja besar dan tahu akan kedigjayaan. Maka lepaskanlah sukmamu dan aku akan menangkapnya dan memasukkannya kembali ke dalam jasadmu “.


Setelah berkata demikian, maka Maharaja Yudhistira duduk bersamadhi dan memusatkan seluruh buddhinya. Memisahkan Panca Karmaindriya dan Panca Buddhindriya dengan benar. Lalu melesatlah roh Maharaja Yudhistira, dan badannya terkulai lemas, seperti orang tidur. Maharaja Yudhistira mati.


Setelah melihat hal itu, maka dengan segera Maharaja Bhaerawa duduk bersamadhi dan mencoba menunggalkan bayu, sabda idepnya. Sukmanya melesat dan mencari ke alam Yama, maka didapatilah roh Maharaja Yudhistira. Kemudian ditangkaplah dan dimasukkan kemba;li ke dalam jasad Maharaja Yudhistira. Maharaja Yudhistira hidup kembali. Dia kemudian duduk berhadapan dengan Maharaja Bhaerawa.


Kemudian berkatalah Maharaja Yudhistira, “ Wahai Maharaja Bhaerawa, sungguh hebat kedigjayaan yang engkau miliki. Aku sendiri sangat takjub dengan apa yang menjadi ilmumu itu. Sekarang giliran aku yang akan melakukan hal yang sama padamu. Pergilah ke alam Yama, dan aku akan menangkapmu kembali “.


Setelah berkata demikian, maka Mharaja Bhaerawa kemudian duduk dan memusatkan buddhi toganya. Keluarlah sukmanya dan roh itu kemudian pergi menuju Siwaloka, dan menghadap kepada Paduka Bhatara Hyang Guru ( Sanghyang Siwa ). Tersenyumlah Bhatara Hyang Guru dan berkata kepada Maharaja Bhaerawa, “ Wahai kau Maharaja Bhaerawa, mengapa engkau datang kemari dan mati dengan cara demikian? “.


Kemudian menjawablah Maharaja Bhaerawa dengan penuh hormat kepada Bhatara Hyang Guru, “ Ampuni hamba yang Maha Suci, sebab hamba tengah mengadu ilmu dengan Maharaja Yudhistira. Sekarang hamba akan menuju alam Sunyaloka “.

Setelah berkata demikian, maka Maharaja Bhaerawa kemudian berangkat menuju alam Sunya dan bersembunyi di sana menghindari kejaran dari Maharaja Yudhistira yang sudah melepaskan sukmanya dan pergi mengejar, tibalah di alam Siwa, dan tidak ditemukanlah. Maka kembali Yudhistira menghadap Kresna, “ Duhai Kresna yang perkasa, sekarang aku tidak dapat melihat dan mengejar Maharaja Bhaerawa, entah kemana dia pergi. Dia sudah pergi menuju alam kekosongan “.


Untuk itulah, maka kembali Maharaja Yudhistira melakukan yoga dan melepas sukmanya dan menuju kepada Bhatara Guru. Kemudian Bhatara Guru bersabda, “ Maharaja Yudhistira, engkau menjalankan karma sanyasa, maka engkau tidak akan mungkin kalah dengan Maharaja Bhaerawa. Carilah dia di alam Antasunya “.

Setelah mendapatkan petunjuk demikian, maka Maharaja Yudhistira mengejar sukma Maharaja Bhaerawa ke alam antasunya. Setelah diketemukan, maka dipanahlah Maharaja Bhaerawa dengan senjata candra, dan kenalah dia. Kemudian di masukkan kembali kedalam jasad Maharaja Bhaerawa. 


Perlahan-lahan sadarlah kembali sang maharaja, dan kemudian berhadapan lalu berkata lemah lembut kepada Maharaja Yudhistira, dan menyerahkan putrinya yang bernama Diah Ratna Sasangka.


Mereka kemudian kembali menuju Dewantara diiringi oleh seluruh punggawa dan tandadimantri yang perkasa. Maharaja Bhaerawa diiringi permaisuri beliau yang bernama Dewi Bhurasmi. Kemudian berkatalah Maharaja Bhaerawa, “ Wahai Maharaja Yudhistira, dahulu aku pernah menyatakan bahwa jika ada seseorang raja yang sama denganku dalam kedigjayaan dan pengetahuan rohani serta bijak dalam segala hal, maka disinilah aku akan menyerahkan putriku “.


Maka dihadirkanlah putri Maharaja Bhaerawa. Diah Sasangka muncul bagaikan bunga teratai yang diterpa angin. Maharaja Yudhistira kemudian berkata, “ Daulat tuanku Maharaja, janganlah engkau khawatir. Putrimu akan bersatu denganku, yang tidak ubahnya bagaikan Siwa dan Buddha, atau bagaikan siang dan malam hari. Bagaikan bersatunya Dewa dengan Atma. Dengan adanya penyatuan ini, wahai ayahanda, sekarang tiba saatnya untuk menyatakan bahwa penyatuan antara yoga sanyasa dengan karma sanyasa dilakukan. Sebab segala sesuatu jika tanpa yajnya akan sia-sia belaka. Yajnya itulah yang merupakan bapak dan ibunya dunia “. Demikian kata Maharaja Yudhistira.


Maharaja Bhaerawa kemudian menuruti apapun yang menjadi petuah dari Maharaja Yudhistira. Dengan adanya penyatuan pemahaman keduanya, maka lengkaplah sudah apa yang menjadi pedoman, dan bagaikan atma yang sudah bebas, pelaksanaan Yoga Sanyasa dan Karma Sanyasa adalah utama.


Diah Ratna Sasangka mengabdi kepada Maharaja Yudhistira dengan amat baik dan tulus hati. Ini membuat semuanya menjadi sangat senang, demikian juga dengan Dewi Draupadi, Bhima, Arjua, Nakula dan Sahadewa juga merasa sangat bahagia. Maharaja Bhaerawa kemudian dikukuhkan menjadi Maharaja Adi Buddha. Dijadikan penyelamat jiwa oleh Maharaja Yudhistira, dan sebagai pelindung dunia.


Ketika semua sudah berjalan dengan baik dan sempurna, maka pulanglah kembali Baladewa dan Kresna menuju Mathura. Kresna pun kembali menuju Dwarawati. Sampai disini tamatlah hikayat Maharaja Bhaerawa.


Semoga salinan ini dapat menambah pengetahuan sahabat semuanya.

Semoga kebahagiaan dan kedamaian hati selalu menyertai kehidupanmu selamanya.

Rahayu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NAMA - NAMA BINATANG DALAM BAHASA BALI

Adan-adan buron 1.    Panak Jaran madan bebedag 2.    Panak kambing madan wiwi 3.    Panak meng madan tai 4.    Panak bojog madan apa 5.    Panak sampi madan godel 6.    Panak bebek madan memeri 7.    Panak siap madan pitik 8.    Panak bikul madan nyingnying 9.    Panak bangkung madan kucit 10.    Panak cicing madan kuluk/konyong 11.    Panak kakul madan picipici 12.    Panak penyu madan tukik 13.    Inan lindung madan kodes 14.    Panak capung madan blauk 15.    Celeng ane kaliwat wayah kanti pesu caling madan bangkal 16.    Inan pitike madan pangina 17.    siap ane muani suba wayah madan manuk 18.    yuyu di pasihe madan cangking 19.    kakul di pasihe madan omang-omang 20. Pa nak Maca...

Perjalanan Diri

 Perjalanan menuju Harmonisasi Diri  1. #SUGIHAN_TENTEN #Buda_Pon_Sungsang ,.Disebut Sugihan Tenten karena merupakan hari Ngentenin atau  Memperingatkan, mengingatkan umat manusia bahwa sebelum Kemenangan Dharma tiba, Sang Bhuta Tiga akan hadir untuk menggoda umat manusia. 2. #SUGIHAN_JAWA   #Wrahaspati_Wage_Sungsang disebut SUGIHAN JAWA berasal dari dua kata ;      SUGI  memiliki arti bersih, suci.      JAWA ( Jaba ) yang artinya luar.  Sugihan Jawa adalah hari sebagai Pabersihan /Penyucian segala sesuatu yang berada di luar diri manusia (Bhuana Agung).  Pada hari ini melaksanakan upacara yang disebut #Mererebu atau #Mererebon. Upacara Ngerebon ini dilaksanakan dengan tujuan untuk Nyomia / menetralisir segala sesuatu yang Negatif yang berada pada Bhuana Agung disimbolkan dengan pembersihan Sanggah /Merajan, dan Rumah.  3. #SUGIHAN_BALI #Sukra_Kliwon_Sungsang disebut Sugihan Bali memiliki makna yaitu penyucian/pembers...

NAMA - NAMA BHUTA KALA

Menurut Lontar Siwa Gama, kata Bhuta berasal dari suku “BHU” yang berarti menjadi, ada, gelap, berbentuk, mahluk. Kemudian berkembang menjadi “BHUTA” yang artinya telah diwujudkan. Sedangkan untuk kata “KALA”, berarti energi, waktu. Sehingga kata BHUTA KALA artinya adalah energi yang timbul dan mengakibatkan kegelapan. Bhuta Kala sering diwujudkan dalam bentuk iblis dengan rupa menyeramkan . Dalam Lontar Purwa Bhumi Kemulan, disebutkan nama-nama Bhuta Kala yang diciptakan dari yoga Bhatari Durga yang menghuni seluruh tempat, antara lain : . - Singha Kala di tanah - Kala Wisesa di langit - Bhuta Lamis di batu - Wisnu Pujut di malam hari - Bangbang Pita di siang hari - Kala Nundang di jalan - DoraKala di pintu gerbang - Hyang Maraja di halaman - Bhuta suci di sanggar - Bhuta Sayah di Bale agung - Kala Graha di Kuburan - Bhuta Ngadang di persimpangan jalan - Kala Dungkang di bebaturan - Bhuta Duleg di bawah tempat tidur - Bhuta Ndelik di bilah-bilah bambu galaran - Bh...