Lepaskan Kulit Wangsa Sesuai Bongkol Pangasrayan
"Tingkahing Adiksani (wangsa dewata)"
Di dalam sebuah lontar berjudul "Bongkol Pangasrayan" terdapat ajaran "Tingkahing Adiksa." Di dalam teks "Tingkahing Adiksa" tersebut terdapat ucapan tentang menghilangkan wangsa. Seperti berikut ini.
Tatacara melakukan Diksa. Pada saat melakukan ""Ndilah," kalau secara sekala Sang Guru Nabhe sebagai "Ongkara Merta," kalau secara niskala di dalam Sang Guru Nabhe sebagai perasaan bahagia. Sang Murid kalau secara sekala adalah "Ongkara Gni," kalau secara niskala di dalam Sang Murid sebagai perasaan yang terang benderang. Begitulah pada saat "Ndilah." menghilangkan "Sudra"
(tingkahing adiksa, yan di ndilahe. Yan di sekala sang adi meraga Ongkara Merta, yan di niskala di jro meraga rasa liyang. Sang sisya yan ring sekala meraga Ongkara Gni, yan di niskala di jro sang sisya meraga rasa galang. Keto di ndilahe ngilangang wangsa sudrane).
Kutipan di atas dengan jelas menyebutkan bahwa esensi dari tahapan "Ndilah" dalam upacara Diksa, adalah menghilangkan wangsa sudra. Wangsa sudra yang dihilangkan adalah wangsa sudra yang ada pada sang murid. Sarana untuk menghilangkan wangsa sudra itu adalah "Ongkara Gni," atau "Ongkara Api." Jadi, yang namanya wangsa sudra itu dibakar oleh kekuatan api dari Ongkara.
Setelah tahapan "Ndilah" dilewati, dilanjutkan dengan tahapan yang disebut "Nuhun Pada." Dalam penjelasan tentang Nuhun Pada juga terdapat ucapan tentang menghilangkan wangsa. Seperti berikut ini terjemahan dan kutipan teksnya.
Pada saat tahapan Nuhun Pada, secara sekala Sang Guri Nabe sebagai perwujudan "Windu Gni," kalau secara niskala di dalam Sang Guru Nabe merupakan rasa pikiran yang tenang. Sang murid secara sekala merupakan perwujudan "Windu Amerta," kalau secara niskala di dalam sang murid merupakan rasa sejuk dari pikiran yang suci. Seperti itulah pada saat tahapan "Nuhun Pada," menghilangkan "Wangsa Wesya."
(di nuhun padane, yan di sekala sang adi meraga windu gni, yan di niskala di jro sang adi meraga rasan kayune tegteg. sang sisya yan di sekala meraga eindu merta, yan di niskala di jro sang sisya meraga tis kayune suddha. keto di nuhun padane, ngilangang wangsa wesya)
Kutipan di atas dengan jelas menyebutkan bahwa esensi dari tahapan "Nuhun Pada" dalam upacara diksa, adalah menghilangkan wangsa wesya. Wangsa Wesya yang dihilangkan adalah wangsa wesya yang ada pada sang murid. Sarana untuk menghilangkan wangsa wesya itu adalah "Windu Amerta, atau Windu Air." Jadi wangsa wesya itu dihanyutkan oleh aliran air dari windu.
Setelah tahapan "Nuhun Pada" dilewati, dilanjutkan dengan tahapan yang disebut "Metirtha." Dalam penjelasan tentang tahaan "Metirtha juga terdapat ucapan tentang menghilangkan wangsa. Seperti berikut ini terjemahan dari kutipan teksnya
Saat pemercikan air suci, sang murid sebagai "Parama Acintya," yaitu rasa tanpa mala. Sang Guru Nabe sebagai "Acintya Paramashunya Nirbhana." Seperti itulah pada saat pemercikan air suci, menghilangkan "Wangsa Ksatrya."
(dimatirthane sang sisya meraga parama acintya, rasa nirmala, sang adi meraga acintya paramashunya nirbhana, keto di metithane, ngilangang wangsa ksatryane)
Kutipan di atas juga dengan jelas menyebutkan bahwa esensi dari tahapan "Matirtha" dalam upacara diksa, adalah menghilangkan wangsa ksatrya. Wangsa Ksatrya yang dihilangkan adalah wangsa ksatrya yang ada pada sang murid. Sarana untuk menghilangkan wangsa ksatrya itu adalah "Tirtha Acintya Paramashunya Nirbhana."
Apa jadinya sang murid setelah melepaskan tiga wangsa dalam satu rangkaian upacara diksa? Seperti ini jawabannya
Rasanya seperti terbenam, semata-wangsa pandita-dewatalah yang melekat. Pada saat upacara Jaya-jaya. Sang murid menjadi "Windu Dewa," yaitu Rasa Sunya Hening"
(rasane leyep kewala wangsa pandita dewatane heneraket. Di Jaya-jayane sang sisya meraga windu dewa, rasa kawikune, sang adi meraga paramashunya suci nirmala tan paleteh, rasane shunya hening)
Kutipan di atas dengan jelas menyebutkan bahwa sang murid akhirnya dilekati oleh "Wangsa Pandita Dewata." Tidak dijelaskan apa sebenarnya "Wangsa Pandita Dewata" itu. Hanya ada keterangan bahwa pda saat upacara Jaya-jaya, sang murid menjadi perwujudan dari "Windu Dewa." Yang dimaksudkan dengan Windu Dewa, adalah rasa kewikuan, atau rasa menjadi seorang wiku.
Begitulah isi salah satu lontar tentang shastra menghilangkan wangsa. Penghilangan wangsa itu ada dalam sebuah upacara Diksa. Sebagaimana umumnya upacara, Diksa itu adalah sebuah tindak simbolis-mistis. Penghilangan wangsa itu adalah sebuah pemaknaan. Makna itu diberikan oleh Tradisi.
Wangsa itu benar-benar dipandang sebagai kulit. Melewati tahapan pertama, seorang murid melepaskan sendiri kulit terluarnya. Untuk melewati tahapan kedua, seorang murid kembali melepaskan kulit di dalamnya. Begitu seterusnya sampai akhirnya ia seakan-akan tanpa kulit. Keadaan tanpa kulit itulah yang disebut "Wangsa Pandita Dewata, atau Windu Dewa, atau itulah sejatinya seorang wiku."
Jadi "Wiku" artinya orang yang telah melepaskan kulit-kulitnya.
Menghilangkan wangsa adalah sebuah pendakian dari bawah ke atas, atau sebuah penyusupan dari luar ke dalam, atau dari kulit ke isi.
Yang mana kulit?
Wangsa.
Yang mana isi?
Keadaan lepas atau bebas dari wangsa.
Rahajeng semeng semeton sareng sami
Dimogi sekancan sane maurip ring jagate siddha ngamolihang kedirghayusan urip miwah keledangan pikayun setata
Rahayu.
Komentar
Posting Komentar